Home | Blog | Contact | "Dari Rane"

ᵔᴥᵔ Rane

AI, Sopan Santun dan Biaya Listrik

Catatan: Buat yang malas baca, cek versi carouselnya di sini.

Beberapa hari terakhir ini media banyak mengulas soal biaya listrik yang dihabiskan oleh OpenAI ketika kita menggunakan kata-kata sopan saat berinteraksi dengan teknologi AI seperti ChatGPT.

Semua dipicu oleh jawaban Sam Altman, CEO OpenAI terhadap pertanyaan seorang pengguna Twitter (iya, maaf saya masih menolak pakai nama barunya hehe) bernama @Tomieinlove:

I wonder how much money OPENAI has lost in electricty costs from people saying "please" and "thank you" to their models? 

Bang Altman (@sama) menjawab:

Tens of millions of dollars well spent -- you never know.

Banyak media yang kemudian terkesan berimprovisasi dengan percakapan itu. Kata kuncinya hampir sama: "AI", "sopan santun", dan "bayar listrik." Salah satunya adalah media Kompas kita tercinta. Dalam salah satu artikelnya berjudul: "Jangan Bilang 'Tolong' dan 'Terima Kasih' ke ChatGPT", Kompas antara lain bilang:

Sering mengucapkan "tolong" dan "terima kasih" saat memasukkan prompt di ChatGPT? Banyak pengguna yang mengucapkan hal tersebut agar tampak "sopan" meskipun sedang berkomunikasi dengan chatbot kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI). Akan tetapi, mengucapkan "tolong" dan "terima kasih" saat menggunakan ChatGPT ternyata membebani perusahaan induknya, OpenAI.

Dalam penafsiran saya, Altman hanya menjawab: "Puluhan juta dolar sih, Rasanya pantes aja keluar segitu. Siapa tahu kan ya." Hanya itu. Dia tidak pernah bilang: "Jangan ngomong sopan ke AI karena boros listrik."

Tapi ini menarik sekali. 

Di tengah makin banyak orang yang menggunakan teknologi AI berbasis Natural Language Processing seperti ChatGPT yang bisa diajak ngomong seperti manusia biasa, tidak jarang sifat-sifat manusia kita terbawa. Kita jadi ngomong dengan kata-kata sopan seperti "Tolong" atau "Terima kasih" saat ngobrol dengan mereka. Tapi memangnya salah?

Pertanyaannya, memangnya kenapa sampai kata-kata sopan itu bisa menghabiskan listrik jutaan dolar? 

_

Ya, Kenapa Bicara Sopan ke AI Sampai Menghabiskan Listrik Puluhan Juta Dolar?

Semuanya berawal dari apa disebut sebagai "Token." 

Jadi ChatGPT membaca pesan teks berdasarkan jumlah token per karakter, kata, tanda baca, bahkan emoji. Mau tahu lebih jauh cara menghitung token, bisa cek di sini. Jadi misalnya, kita ngobrol dengan ChatGPT dengan kata-kata seperti ini:

“Permisi Neng AI. Tolong dong jelasin ini ke gue ya. Makasih, cantik 😘”

Nah, oleh ChatGPT itu dihitung sebagai 16 token. Bukan token listrik, tapi token digital yang bikin AI kerja ekstra keras, karena setiap token itu ada biayanya. Setiap token itu perlu daya komputasi, menjalankan otak AI alias model AI, dan menjalankan server. 

Makin banyak token berarti kerja server makin banyak, dan konsekuensinya makin banyak listrik yang disedot. 

Misalnya, pertanyaan di atas tadi itu sebenarnya bisa dipahami AI cukup dengan satu kata (baca: satu token) saja: Jelasin. Tanpa harus ada kata "permisi," "tolong," "terima kasih," "cantik" apalagi ditambah emoji (sok) imut.

Sekarang bayangkan kalau miliaran pengguna setiap kali chatting memakai kata "makasih, sayang 😘"? Servernya pasti kerja rodi. Wajar kalau kata Om Altman pengeluaran dari kata-kata "tolong" dan "terima kasih" itu bisa mencapai puluhan juta dolar buat bayar listrik.

-

Tapi, Kenapa Sam Altman bilang itu Well Spent?

Sopan santun itu di dunia AI itu mahal ya. Tapi kenapa kata Sam Altman itu well spent?

Dia memang tidak menjelaskan lebih jauh. Tapi bisa saja ditafsirkan bahwa pantaslah keluar uang segitu buat bikin AI terasa lebih manusiawi. Lebih empatik.

AI itu pada dasarnya berpikir lempeng saja, mirip Letnan Commander Data di film Star Trek. Tapi ada proses lain buat melatih dia agar sebisa mungkin lebih "manusiawi," yaitu dengan melatih mereka untuk juga bisa mengenali konteks-konteks dari kata atau kalimat yang membentuk makna yang tersirat. 

Misalnya "tolong" bisa berarti sikap sopan. "Yang benar saja?" bisa berarti marah atau "terima kasih ya, sayang" bisa berarti genit, apalagi kalau ditambah emoji hati merah merona.

Berdasarkan data itu, mereka kemudian harus bereaksi seperti apa kepada si pengguna. Itu semua bisa dilakukan, salah satunya melalui proses yang disebut sebagai RLHF (Reinforcement Learning from Human Feedback).

Seperti namanya, manusia-manusia lah yang melatih lewat proses RLHF tadi. ChatGPT dilatih bukan hanya dari data, tapi juga dari "penilaian manusia". Jadi model ini tidak akan asal tebak mana jawaban terbaik, tapi dia belajar dari feedback manusia yang menunjukkan mana jawaban yang “lebih baik” atau "kurang tepat" atau malah "salah."

Analoginya seperti misalnya ketika seorang guru mengajari anak kecil, apa itu sikap sopan santun? Dari jawaban si anak, kita bisa bilang mana yang benar, mana yang salah. 

Sudah pasti biaya untuk RLHF ini mahal, karena melibatkan manusia seperti saya dan Anda. Maka makin bengkak lah biaya tagihan listriknya.

Namun demikian tetap saja Sam Altman bilang pengeluaran itu well spent. Karena AI yang lebih mendekati manusia, lebih luwes, tentu lebih disukai dan membuat pengguna nyaman. Kalau sudah nyaman, kita jadi jatuh cinta dan bahkan bisa jadi tergantung. Tidak sedikit yang akhirnya berlangganan layanan plus atau pro dari ChatGPT.

Dan di ujung cerita, siapa yang membayari token PLN-nya Om Altman? Kita.

Jadi kalau ada yang berpikir, “Wah AI-nya ramah banget, kayak paham maunya gue,” jangan buru-buru terharu dan nangis di pojokan.

AI itu kesannya memang “paham” dalam arti sesungguhnya. Tapi dia hanya belajar mengenali pola dari miliaran interaksi sebelumnya. Dia merespons bukan karena mengerti isi hati kita, tapi karena sudah dilatih buat membaca jutaan, mungkin milyaran kemungkinan perasaan dari konteks kata-kata yang dilatih oleh sistem RLHF tadi dan dipertajam oleh hasil interaksi dengan pengguna lainnya.

Pertanyaannya sekarang, mau pilih AI yang pintar saja, atau yang cerdas tapi sopan dan terasa seperti ngobrol dengan manusia saja? Itu kembali ke selera masing-masing. Tapi tentu semua ada harganya. 

Bahkan ChatGPT yang gratisan saja ada harganya, berupa limit berdasarkan penggunaan token.

Hm.. jadi kalau kalian pakai ChatGPT gratisan, bisa jadi — ini masih harus dibuktikan — gunakanlah perintah yang pendek-pendek saja. Tidak usah sopan santun, apalagi sampai baper. Karena makin baper, makin banyak kata, makin banyak token, makin cepat mentok di limit gratisan.

Teorinya begitu. Boleh dicoba.

-

AI itu Cuma Alat Bantu

Mau gratis, mau berbayar, mau baper, mau kaku, pada akhirnya kita harus menyadari AI itu cuma alat bantu. Semakin lama dilatih, bisa saja dia makin sopan dan luwes saat berinteraksi dengan kita pengguna.  

Tapi jangan sampai dibalik. Jangan sampai justru kita yang diajari oleh AI dan berubah jadi robot yang dingin, kaku dan tidak punya empati.

Komunikasi itu seni. Bukan sekadar logika dan prosedur.

Kalau kita mulai kehilangan empati dan spontanitas demi "efisiensi interaksi," berarti bukan AI yang semakin manusiawi.

Tapi kita yang semakin mesinawi.

Tangsel, 22 April 2025

#artificial intelligence