Home | Blog | Contact | "Dari Rane"

ᵔᴥᵔ Rane

Brain Rot

Belum lama ini, Oxford University Press mengumumkan kata "Brain Rot" sebagai Word of the Year 2024. Istilah ini, yang secara harfiah berarti "pembusukan otak," sebenarnya bukan istilah klinis. Awalnya, istilah ini sering digunakan oleh anak muda dari Generasi Z atau bahkan Generasi Alpha untuk menggambarkan kondisi otak yang terasa "macet" atau menjadi lambat akibat terlalu sering mengonsumsi konten tertentu secara berulang. Hal ini dapat menyebabkan otak menjadi seperti mati rasa dan malas berpikir.

Contohnya, "Anjir, semalam gue ngakak terus nonton video-video Skibidi Toilet sampai brain rot."

Lucunya, istilah ini sering digunakan secara satir, seolah-olah merendahkan diri sendiri karena terjebak tren konten viral. Namun di balik itu, ada semacam kebanggaan terselubung—seperti ingin menunjukkan bahwa mereka juga mengikuti tren.

Menurut interpretasi saya, istilah brain rot ini mencerminkan kebiasaan mengonsumsi konten receh secara berlebihan, yang pada akhirnya dapat menurunkan kemampuan berpikir kritis. Fenomena ini mungkin juga menjadi salah satu alasan mengapa rentang perhatian (attention span) kita semakin pendek. Kabarnya rentang perhatian manusia saat ini hanya sekitar 8 detik. Karena itulah, dalam teori konten kreator, perhatian audiens harus bisa direbut dalam 3-10 detik pertama.

Perubahan ini juga dipengaruhi oleh terbiasanya kita menyimak konten-konten pendek yang kurang bermakna. Lama-kelamaan, kebiasaan ini membuat kita sulit untuk menganalisis informasi secara mendalam. Misalnya, ada yang cukup membaca headline dari hasil pencarian di Google tanpa membuka tautannya, lalu merasa sudah menemukan jawaban.

Kemunculan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) semakin mengakomodasi kemalasan ini. Banyak orang menggunakan AI dengan prompt yang sangat sederhana, hanya untuk menyalin hasil tanpa memeriksa atau memverifikasi ulang. Padahal, penggunaan AI yang dikombinasikan dengan pemikiran kritis dan analisis dapat memberikan hasil yang jauh lebih optimal dibandingkan sekadar mengandalkan AI secara pasif.

Meskipun brain rot bukan masalah klinis, istilah ini mencerminkan penurunan kemampuan kognitif akibat kebiasaan tertentu. Tidak ada salahnya menikmati konten pendek seperti video TikTok, selama dilakukan dengan batasan yang wajar. Hal ini mirip dengan makan junk food. Memang enak, tetapi jika berlebihan dapat merusak kesehatan.

Brain rot menurut saya, tidak membuat kita sepenuhnya kehilangan pengetahuan, tetapi berpotensi membuat kita lupa bagaimana cara berpikir dengan benar.

Tangsel, 14 Desember 2024

-Rane

Catatan: Artikel ini adalah bagian dari konten podcast #30HariBersuara2024, yakni tantangan membuat 1 konten podcast setiap hari selama 1 bulan di setiap bulan Desember. Audionya bisa didengarkan di sini:

#artificial intelligence #podcast