Home | Blog | Contact | "Dari Rane"

ᵔᴥᵔ Rane

Bubur Ayam Hambar

Revisi UU TNI sudah disahkan. Itu fakta. Banyak perubahan yang dilakukan, banyak penjelasan yang sudah bisa kita lihat di media, tapi menurut saya masih membuka jalan bagi mereka untuk duduk di posisi sipil dan itu yang menjadi salah satu persoalan.

Sebagai bagian dari warga negara, saya ingin mencoba beropini soal ini. Boleh dong.

Sebenarnya ada satu pemicu saya tergoda ikut beropini, yaitu gara-gara nguping perdebatan kecil di Warung Tegal langganan dekat kantor. Saat itu seorang bapak-bapak pengunjung warteg yang kurang lebih bilang begini:

“Negara ini udah hancur sama koruptor. Lo liat aja sendiri. Jadi, tentara emang kudu turun. Biar pada mampus tuh koruptor!”

Saya tertarik sekali dengan kata-kata bapak ini. Di mata saya dia mewakili rakyat yang sudah muak sampai muntah-muntah dengan ulah para koruptor yang mengutil uang pajak kita untuk kepentingan pribadi mereka sendiri.

Mungkinkah ini salah satu pertimbangan presiden untuk mengajukan revisi UU TNI?

ᵔᴥᵔ

Militer memang dikenal dengan ketegasan dan kedisiplinannya. Mereka bekerja dalam sistem hierarkis yang jelas. Perintah komandan tidak boleh ditawar-tawar. Tidak ada waktu untuk mencla-mencle, semua harus cepat, harus sat-set.

Sementara pemerintahan sipil bekerja melalui proses partisipatif. Ada debat publik, transparansi, pengawasan legislatif, serta yang tidak kalah penting, kontrol dari media dan elemen masyarakat. Proses ini memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil bisa dipertanggungjawabkan untuk kepentingan bersama. Istilah kerennya, ada akuntabilitasnya.

Buat saya di kalangan militer, seragam dan bedil mencerminkan identitas, disiplin, dan struktur komando. Bedil melambangkan kekuatan dan kewenangan untuk bertindak cepat, biasanya dalam kondisi perang. Tapi dalam ruang sipil, simbol-simbol ini bisa menimbulkan jarak. Karena logika sipil mengandalkan debat dan kompromi, sementara logika militer mengandalkan instruksi dan kepatuhan. Di titik itulah, perbedaan paling mendasar antara dua dunia ini menjadi nyata.

Ketika seragam dan bedil masuk ke dalam ruang sipil, ia bisa saja ditafsirkan sebagai punya kelebihan kuasa di atas yang lain. Jangankan tentara. Lihat saja betapa banyak orang-orang biasa seperti saya dan Anda tapi suka sekali bermain “tentara-tentaraan,” pakai "seragam-seragaman," naik mobil "bersirene-sirenean" sambil mengacungkan "bedil-bedilan." Itu saja sudah intimidatif. Apalagi kalau tentara betulan? Tentara juga manusia, kan?

ᵔᴥᵔ

Pandangan lain yang juga menarik adalah bahwa militer memiliki jaringan teritorial yang luas, mulai dari Kodam, Korem, Kodim, hingga Koramil yang Babinsa-nya sampai ke pelosok-pelosok desa. Rasanya tidak ada yang punya jaringan semasif ini selain militer. Jaringan ini penting buat menjaga keamanan negara, meskipun kadangkala bisa buat hal lain.

Mungkin ini mengapa Pak Prabowo melibatkan tentara dalam Program Makan Bergizi Gratis, karena lembaga sipil belum punya jaringan seluas itu. Ini kan pertama kali kita punya program semasif ini.

Lalu ketika masih menjabat Menteri Pertahanan, beliau juga melibatkan tentara dalam menunjang program ketahanan pangan Presiden Jokowi, mulai dari membuka lahan, mengolah tanah, panen sampai distribusi.

Tentara juga bisa diandalkan untuk kondisi tak terduga, seperti bencana alam. Pak Prabowo sendiri pernah berkata kepada para pimpinan media: “Kalau ada bencana alam, siapa yang pertama kali turun? Ribuan mayat waktu di Aceh siapa yang angkat?"

Bahkan sebelum UU TNI direvisi saja, Pak Jokowi dulu banyak menunjuk petinggi militer untuk duduk di jabatan sipil, mulai dari urusan pertanian, perhubungan, haji, hingga BULOG. Memangnya tidak ada lagi orang sipil yang bisa menduduki posisi itu? Pasti Pak Jokowi punya alasannya, atau mungkin itu alasan mengapa UU TNI direvisi? Wallahualam..

Masalahnya, saya khawatir ketergantungan pada lembaga militer untuk mengerjakan tugas-tugas sipil akan menjadi kebiasaan, dan hasilnya kehidupan bernegara kita akan berjalan pincang. Militer memang bisa diandalkan dalam situasi tertentu, tetapi jangan sampai mereka menggantikan fungsi sipil dalam jangka panjang.

Bukankah ada kata-kata begini: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

Ini kutipan dari ahli sejarah Inggris, Lord Acton yang artinya kurang lebih, Kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut pasti akan sangat disalahgunakan.

Cuma sayangnya ada satu tambahan kata-kata Lord Acton yang jarang dikutip: “Great men are almost always bad men,” yang mengingatkan kita bahwa orang hebat sekalipun bisa jadi jahat, kalau nggak ada mekanisme kontrol terhadap kekuasaannya.

Coba bersama kita renungkan, apa mungkin itu terjadi?

Hmmm.. ini kayak di zaman siapa ya..

ᵔᴥᵔ

Meskipun DPR dan pemerintah menampik ada upaya kembali ke dwifungsi seperti jaman Suharto dulu, bahkan Puan Maharani dan Sjafrie Sjamsuddin bilang bahwa supremasi sipil tetap akan dijunjung tinggi, tapi bisakah disalahkan kalau banyak yang sulit percaya? Puluhan tahun kita hidup dalam kondisi itu hingga kemudian muncul era reformasi yang mengubah segalanya.

Saya besar di era ketika dominasi tentara dalam kehidupan sehari-hari masih sangat terasa kental. Guyonan Warkop jaman dulu yang bilang, “Jangan macam-macam kamu. Jadi bal-balan di kodim baru tau rasa,” itu menggambarkan betul dominasi militer di masyarakat saat itu.

Sekarang zaman sudah berbeda. Pemerintahan sipil memang penuh dengan keriuhan yang kadang menjengkelkan. Tapi buat saya dari situlah demokrasi hidup—dari kegaduhan, dari ketidaksepakatan, dari kritik yang tak pernah habis-habisnya. Tinggal bagaimana pemerintah memberikan ruang yang luas untuk mengawal proses ini dan juga mau menerima masukan. Jangan diam-diam rapat di hotel. Apa kurang bagus ruang rapat di Senayan?

Tapi pada akhirnya UU TNI sudah disahkan. Palu sudah diketuk. Ibarat kata pepatah, nasi sudah menjadi bubur. Ya kita hanya bisa berharap semoga saja bisa jadi bubur ayam komplit yang enak rasanya.

Kalaupun tidak enak, semoga kita tetap bebas bertanya ke abang penjualnya:

“Bang, kok buburnya hambar, ya?”

Tanpa harus diawali dengan kata-kata:

“Siap, Mohon ijin, bang. Mau bertanya. Mohon ijin. Buburnya kenapa hambar ya bang? Mohon ijin…”

ᵔᴥᵔ

Tangerang, 8 April 2025

"Mohon Ijin"

*Versi audio-podcast bisa didengarkan di sini.

#sosial politik