Home | Blog | Contact | "Dari Rane"

ᵔᴥᵔ Rane

Ijazahku, Amarahmu

Tepuk tangan dulu ah buat orang-orang yang posting ijazahnya di media sosial, karena ingin menyindir seseorang yang diduga ijazahnya palsu. Tahu dong siapa.


Bro, besok sekalian aja pergi ke tengah pasar yang ramai, buka dompet lo lebar-lebar dan tunjukin ke semua orang kalau isinya uang beneran. Biar mereka yang belanja pakai uang palsu jadi tersindir.

Hehe, lucu juga kalau dipikir-pikir. Pak Jokowi dituding pakai ijazah palsu. Ya lihat sendiri lah beritanya, benar atau salahnya. Tapi yang lebih menarik dilihat adalah bagaimana orang-orang lain ikutan nyindir. Tiba-tiba di linimasa ada aja yang memasang ijazahnya, dari SD sampai S3, dari plastik laminating sampai emboss gold. Sebuah aksi kolektif yang sekilas terkesan ingin nyindir, tapi mereka bikin masalah baru buat diri mereka sendiri. 

Pernah nggak kepikiran kalau itu dokumen pribadi yang kita posting? Kebayang nggak bisa dipakai buat apa aja oleh orang usil? Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, nomor induk mahasiswa, bahkan tanda tangan—semua bisa dipakai buat hal-hal yang nggak kita bayangin: dari pinjol sampai manipulasi data, dari doxing sampai pemalsuan dokumen baru. Dan itu semua kita sodorin sendiri, demi... sindiran?

Apa yang sebenarnya sedang kita lakukan?

Apakah kita benar-benar ingin mencari kebenaran? Atau sekadar ingin ikut marah, biar kelihatan relevan?

Di era media sosial, seringkali marah bukan lagi soal emosi, tapi soal partisipasi. Yang penting terlibat. Yang penting ikut “membenarkan”. Makin cepat ikut nimbrung, makin besar rasa punya kontribusi.

Tapi sialnya, dalam hasrat ikut serta itu, kadang kita lupa mikir.
Lupa bahwa tindakan kita bisa absurd.
Lupa bahwa menyindir itu ada seninya. Bukan malah merugikan diri sendiri. Kayak orang berdiri di atas panggung untuk mengejek, tapi nggak sadar resleting celananya terbuka. Ujung-ujungnya bukan strategi, tapi tragedi komedi yang kita sutradarai sendiri.

Kita begitu ingin menunjukkan bahwa kita bukan pemalsu, sampai-sampai rela mengekspos data pribadi secara massal, mungkin dengan dalih menegakkan kebanaran. Padahal yang kita lupakan satu hal: kebenaran tidak datang dari keramaian. Apalagi keramaian yang dipicu oleh rasa ikut-ikutan.

Kadang kita nggak lagi mikir. Kita mudah terpicu ikut tren, karena FOMO alias takut ketinggalan tren. Ada yang pamer ijazah, ikut. Baru dapet KTP atau SIM, ikut. Dapet visa ke Korea, langsung posting lengkap dengan tiketnya. Nggak penting tujuannya apa, yang penting kelihatan relevan di timeline. Celakanya, kita terbiasa menanggalkan privasi bukan karena peduli isu, tapi karena takut nggak dianggap bagian dari keramaian.

Media sosial memang tempat aneh. Ia membuat kita merasa punya suara, padahal seringkali hanya menggema di ruangan yang sama. Kita saling menyindir, saling tepuk tangan, tapi tak ada satu pun yang benar-benar tahu arah geraknya. Hari ini ijazah, besok bisa saja akta lahir, atau mungkin STNK. 


Marah itu kata kuncinya. Ia bikin kita kehilangan logika. Dan karena sifatnya adiktif, cukup satu isu dan satu tombol share, kita udah larut. Marah kolektif, tapi sering tanpa arah dan tanpa jeda berpikir.

Mungkin kita butuh jeda.


Bukan untuk membenarkan yang salah. Tapi untuk memastikan kita nggak ikut-ikutan salah saat merasa sedang benar.

Kita sibuk nunjukin diri sebagai “yang asli”, “yang punya kredibilitas”. Tapi siapa yang sedang sibuk mengatur cerita besar di balik itu semua?
Sementara warganet sibuk rebutan spotlight, ada pihak yang mungkin justru memanfaatkan kekacauan ini untuk menggeser makna, mengaburkan fokus, atau malah memanfaatkan untuk kepentingan mereka. 
Yang bahaya bukan cuma pemalsuan dokumen, tapi juga pemalsuan cerita, opini, persepsi, dan kebenaran. Lebih bahaya lagi mereka yang melakukannya tanpa sadar akibatnya.

Karena kalau semua sibuk menunjukkan data pribadinya, siapa yang sibuk memalsukan narasi?

Dan kalau semua sibuk ikut marah, siapa yang buzzer, siapa yang cuma keseret arus? Siapa yang dikira mengatur, padahal cuma ikut tepuk tangan? Siapa yang justru tepuk tangan beneran karena strateginya berhasil?

Tangsel, 17 April 2025

~Versi Audio Podcast bisa didengarkan di sini~

#sosial politik