Kamera yang Hilang
Saya mau cerita tentang kamera. Jadi ini mulai dari sebuah pemikiran begini: Para digital natives ini lahir di era digital dan dari lahir saja mereka sudah disorot kamera. Itu berpengaruh ke hidup mereka yang menurut saya sudah berbeda banget dengan era saya dulu. Mereka udah terbiasa dengan kamera. Kamera ini ibarat cinta pertama mereka
Ada seorang teman dari era Gen-Z yang pernah bilang begini ”Om, kamera itu netral.” Saya jadi berfikir, ini beneran netralkah? Karena buat saya dari generasi Gen X, kamera itu nggak netral dan nggak akan pernah netral. Contohnya begini: Saya ini podcaster. Saya ngobrol sama kalian dengan suara dan nggak pake kamera. Nggak ada lensa yang ngintipin pas lagi mikir atau pas lagi ngomong, dan saya nyaman banget sama itu, karena tanpa kamera saya bisa jadi diri saya sendiri. Saya bisa ngomong sebebasnya tanpa harus mikir ekspresi muka saya bakal keliatan aneh atau enggak. Saya nggak bakal mikirin begitu
Tapi bagi kamera buat generasi sekarang itu bukan lagi benda asing. Kamera sudah seperti perpanjangan mata mereka, dan mereka santai saja, sudah biasa. Ini membuat saya jadi bertanya-tanya inikah realitas sekarang? Atau inikah yang disebut sebagai sebuah hyperreality yang diciptakan kamera.
Hyperreality adalah istilah yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard, orang Perancis, filsuf, fotografer dan ilmuwan. Dia bilang kamera itu menciptakan dunia yang lebih nyata dari kenyataan. Kamera memberi kita potongan realitas yang dikemas ulang, diedit, dipoles, sampai kita lupa mana yang asli, mana yang sudah direkayasa.
Itu terjadi di media sosial. Contoh paling mudah, video seseorang lagi menangis di depan kamera. Mungkin pernah lihat ini di media sosial. Bayangin begini: Anda benar-benar menangis, air mata sudah mengalir dengan derasnya, dada sesak, tapi kemudian sempat-sempatnya mengambil HP, menyajalan kamera, set angle, selfie, tekan tombol record dan tiba-tiba Anda bukan hanya orang yang sedang menangis. Anda adalah penonton bagi diri sendiri. Kamera membuat momen jadi lebih besar, lebih dramatis, lebih penting. Tapi apa itu artinya palsu?
Kamera itu netral, katanya. Hidup di depan kamera itu sudah biasa saja bagi anak sekarang. Ini bukan hyperrealism lagi. Buat mereka, kamera itu sudah jadi bagian dari realisme, dari realitas. Saya menyebutnya digital realism, realisme digital, dan ini menarik. Menarik karena pertama, kamera itu tidak membuat mereka acting. Kamera cuma ada di sana, seperti lampu di ruang tamu, dan generasi ini sudah nyaman banget hidup di bawah cahaya lampu itu. Kedua, kalau mereka joget-joget, curhat, atau bahkan nangis di depan kamera, itu bukan karena mereka pura-pura. Itu karena kamera sudah jadi bagian dari cara mereka menjalani hidup.
Pagi ini saya melihat sebuah video yang menarik, dan itu membuat saya berfikir. Jadi video itu menampilkan seorang anak sedang merawat ibunya yang kelihatannya sudah sepuh, badan kurus, kondisi sakit, hanya terbaring di ranjang. Si anak sedang joget-joget di depan ibunya gitu, dan ibunya berkali-kali tertawa melihat anaknya. Interaksi lucu banget, keren banget. Dari mana saya tahu? Ya karena itu direkam oleh kamera dan ditayangkan di media sosial. Saya, saya tidak berhenti nonton dan terus mengulang-ulang.
Tapi setelah menonton, di kepala saya muncul pertanyaan: Apa yang terjadi kalau kamera sudah dimatikan? Apa si anak itu tetap joget-joget? Atau dia malah sibuk pilih-pilih video yang sudah direkam buat di-upload? Akankah kira-kira dia akan berfikir, “Wah ini bakal menarik nggak ya buat penonton saya.” Atau jangan-jangan saya yang suudzon? Dengan segala hormat kepada si anak dan ibu, mudah-mudahan Ibunya segera sehat dan anaknya diberikan segala kebaikan karena sudah merawat ibunya. Tapi, saya tetap tidak bisa lepas dari pertanyaan-pertanyaan seperti gini.
Kamera itu netral, katanya. Tapi karena itulah saya malah bertanya-tanya, “Kamera yang netral atau kita yang berubah?” Saya tidak bilang video itu palsu, enggak. Bahkan mungkin, yang saya liat tadi itu, interaksi antara si anak dengan ibunya itu, adalah momen paling tulus yang pernah ada. Tetap aja saya tidak bisa lepas dari pikiran ini” Begitu ada kamera, realitas tidak akan pernah sama lagi.
Mungkin karena saya dari generasi yang tidak besar dengan kamera. Kamera itu bagi saya adalah barang yang sangat-sangat mewah. Sementara sekarang kamera sudah jadi satu dengan handphone dan semua orang punya, dari anak-anak sampai orang tua.
Justru karena itu saya jadi berpikir begini: Mungkinkah kalau ada kamera, realitas kita nggak akan pernah sama lagi. Karena buat saya, begitu sadar disorot kamera, saya akan mulai akting. Kamera itu seperti kaca benggala. Kita melihat diri sendiri di sana, tapi bayangan kita sedikit melengkung. Kita sadar sedang diperhatikan, dan kesadaran itu membuat kita berubah. Itu yang saya rasakan.
Tapi mungkin benar bahwa kamera itu netral. Mungkin generasi sekarang sudah biasa hidup dengan kamera, dan tulus atau enggaknya, itu bukan soal kameranya tapi soal orangnya. Justru sekarang saya jadi berfikir, apakah kita sekarang sedang hidup di sebuah era realisme baru? Realisme di era digital?
Jean Baudrillard boleh bilang ini semua hyperreality, kita nggak tahumana yang asli, mana yang tidak. Tapi mungkin ini sebuah realisme baru. Realitas yang tidak sepenuhnya mentah, tapi juga tidak sepenuhnya palsu. Realitas yang hidup di antara momen yang tulus dan momen yang sengaja dibagikan untuk dunia.
Karena itu pertanyaannya sekarang kalau kita terus menerus hidup di bawah sorotan kamera, apa kita masih bisa tahu siapa diri lu yang sebenarnya? Atau jangan-jangan kita malah sebenarnya bisa lebih tulus karena sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan kamera. Kamera itu seolah sudah hilang muat kita karena sudah jadi bagian dari hidup.
Saya sebagai seseorang dari Generasi (Gen-X) tidak akan pernah bener-bener tahu seperti apa rasanya tumbuh di dunia yang nggak pernah enggak ada lensa kamera. Mungkin saya terlalu overthinking. Mungkin saya cuma belum siap menerima hidup sekarang itu sudah berubah. Mungkin. Tapi bisa saja itu semua kembali ke kita masing-masing.
Di zaman saya ketika juru kamera bilang “5, 4, 3, 2, 1, Action,” barulah saya mulai akting, meninggalkan diri saya di dunia realita.
Kalau generasi sekarang mungkin diwakili pembukaan Podcast Deddy Corbuzier: “5, 4, 3, 2, 1 Close the door!”
..dan kita masuk ke dunia realisme yang baru: Realisme Digital
-Tangsel, 25 Desember 2024
--Catatan: ini adalah naskah podcast Gen-B yang merupakan bagian dari challenge "30 Hari Bersuara 2024," untuk membuat satu episode podcast setiap hari selama bulan Desember.
Versi audionya bisa didengarkan di sini atau di bawah ini:
**