Kenangan Tak Harus Berdebu
Cerita ini harus saya mulai dengan disclaimer: Ini murni pendapat pribadi, sikap pribadi yang belum tentu sama dengan orang kebanyakan. Ini tentang dialog dengan koleksi buku-buku saya yang seolah bilang: "Hei, kami pernah mengisi kepalamu, tapi sekarang kamu bahkan lupa kami pernah ada." Baiklah, saya harus mengambil sikap!
Beberapa hari terakhir ini, di tengah kerepotan pindahan rumah, saya menyadari ada satu kegiatan yang ternyata menyita cukup banyak waktu: membenahi koleksi buku-buku.
Rak demi rak saya bongkar. Kotak-kotak lama saya buka dan keluarkan sampai berserakan di lantai kamar kerja. Dan di sanalah saya terduduk, dikelilingi oleh buku-buku yang sebagian sudah saya baca, sebagian belum, dan sebagian besar lagi bahkan sudah saya lupakan.
Entah kenapa saat itu ada rasa sesak di dada. Mungkin karena tumpukan debu, mungkin juga karena pusing melihat keadaan kamar yang seperti kapal pecah. Yang jelas ada perasaan aneh, seolah saya sedang diseret kembali ke masa lalu yang tidak saya undang, ditemani buku-buku yang diam-diam menyimpan kenangan yang belum tentu ingin saya buka kembali.
Dulu saya percaya menyimpan buku adalah bentuk penghormatan terhadap pengetahuan dan kenangan yang pernah mereka bawa. Tapi kini saya menyadari, sebagian besar dari mereka hanya menjadi artefak diam, simbol masa lalu yang jarang sekali saya tengok kembali. Ditambah lagi kondisi rumah yang lembab dan rentan rayap.
Saat itulah saya memutuskan sesuatu yang barangkali terdengar radikal, atau bisa jadi hanya gejolak sesaat: memindahtangankan mereka.
Kenapa buku-buku ini harus dilepaskan? Nantilah, saya jelaskan di akhir. Tapi beginilah kira-kira proses yang saya jalani:
Pertama, saya mulai dengan memilah. Menyortir satu per satu. Di situlah saya baru sadar, pola bacaan saya cukup beragam, mulai dari fiksi, biografi, filsafat, religi dan sufisme, sampai buku teknologi informasi, dunia broadcasting (terutama radio), komik, dan buku-buku lain yang sulit dikategorikan tapi tetap saya nikmati.
Kedua, tentu tidak semua saya lepaskan. Ada yang masih belum saya baca, yaitu koleksi “tsundoku” yang selama ini hanya numpang hidup di rak, seringkali dilirik lagi saja lupa. Lalu ada juga buku-buku yang saya pilih untuk tetap disimpan. Entah karena isinya masih relevan, atau karena itu hadiah dari seseorang. Rasanya tidak etis kalau langsung saya singkirkan. Kalaupun tidak saya baca ulang, mungkin kelak akan saya pinjamkan.
Ketiga, baru saya pikirkan ke mana mereka akan pergi. Beberapa saya arahkan ke rumah baca, sebagian saya tawarkan ke teman-teman yang saya tahu akan menghargainya. Sisanya, mungkin akan saya jual murah, bukan demi uang, tapi supaya lebih cepat berpindah tangan.
Lalu apa sebenarnya yang membuat saya sampai pada keputusan itu? Bukan keputusan yang datang begitu saja. Tapi proses memilah, memilih, dan menata ulang itu justru membuka ruang perenungan. Ada banyak pertanyaan yang muncul, bukan hanya soal buku-buku itu, tapi juga tentang diri saya sendiri. Tentang apa yang benar-benar penting untuk disimpan, dan apa yang sebaiknya dilepas.
Ini bukan soal sekadar melepaskan buku. Ini juga tentang sebuah proses belajar menerima bahwa tidak semua yang pernah bermakna harus terus saya bawa. Bahwa kedekatan emosional tidak selalu berarti keterikatan abadi.
Kita sering menganggap buku sebagai sesuatu yang sakral. Harus disimpan, dirawat, bahkan dipajang. Tapi bukankah buku ditulis untuk dibaca, bukan dipelihara? Kalau isinya sudah tinggal di kepala, untuk apa lagi fisiknya?
Pada saat yang sama saya juga berfikir kalau buku-buku ini bisa bermanfaat bagi orang lain, buat apa saya simpan sendiri? Kasihan sekali dia tidak bisa menjalankan fungsi utamanya sebagai buku, yaitu untuk dibaca.
Seorang teman bahkan sempat menyarankan, “Kenapa tidak sekalian buka perpustakaan saja? Jadi buku itu tetap bisa bermanfaat buat orang lain bukan?”
Ya, saya sempat membayangkan juga, ini mungkin bagian dari romantisasi masa tua saya: Punya perpustakaan sendiri yang bisa dikunjungi siapa saja. Di tempat lucu kayak di konten-konten Instagram itu. Mungkin ada kafe kecil yang menyajikan kopi susu dan pisang goreng. Ah, keren banget. Tapi siapa yang mau mengelolanya? Lebih penting lagi, mau dibuat di mana?
Ada lagi dorongan yang sulit dihindari. Rak penuh buku itu terasa seperti pernyataan: lihatlah, saya pernah membaca semua buku ini. Tapi karena sesuatu pertimbangan personal yang tidak bisa saya ceritakan, dan tidak penting juga buat orang lain, sekarang saya memilih pernyataan yang berbeda: lihatlah, saya sudah cukup berubah untuk tahu bahwa saya tidak perlu membuktikan apa-apa.
Romantisasi koleksi itu wajar. Tapi saya ingin rak saya seperti kepala saya: hanya diisi yang relevan. Dan sisanya? Boleh pergi. Buku bukan warisan visual. Ia warisan intelektual. Tempatnya bukan di etalase, tapi di benak.
Buat saya, rasanya sudah cukup menyenangkan membayangkan barang-barang kesayangan itu masih akan tetap berjalan bersama saya, dalam cara saya memandang dunia.
Oke. Tentu, tidak semua orang akan setuju dengan cara saya melihat ini. Tapi berbeda pendapat itu sah-sah saja, bukan begitu bukan?
Rak buku saya kini semakin lengang. Tapi justru dari situ saya belajar: membaca bukan soal memiliki, tapi soal memahami dan merelakan. Karena saya ingin buku itu hidup, berpindah tangan, membuka kepala-kepala orang lain, dan jadi bagian dari cerita orang lain.
Tangerang Selatan, 21 Mei 2025 Rane
*Versi audio bisa didengarkan di sini.