(Bahan rujukan untuk Seminar Bahasa Siaran Radio, PRSSNI, Jakarta 29 Maret 1995)
Oleh: Gambar Anom
1. Pendahuluan
Dari kerangka acuan seminar, saya menangkap adanya dua aliran arus berbeda yang hendak dipertemukan. Kepentingan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta kepentingan berkomunikasi secara efektif.
Hal ini nampaknya dilakukan dari adanya kesadaran akan fungsi media massa yang disebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RSI sebagai “pembudaya bahasa dan bangsa dan berada di garis depan”.
Berangkat dari sinyalemen bahwa saat ini bahasa siaran radio siaran non-pemerintah cenderung “merusak kaidah-kaidah bahasa baik dan benar yang sedang dikembangkan”.
Kita dengan mudah dapat menghakimi pemakaian kata-kata baru baik itu “slang”, prokem atau asing sebagai “perusak”. Namun sesuai dengan dinamika bangsa, bahasa akan terus berkembang (kecuali barangkali Bahasa Ibrani – yang sudah berhentik karena ketiadaan pendukungnya).
Masalahnya adalah bagaimana bahasa yang “baik dan benar” serta bagaimana mengatur keseimbangan yang tepat itu.
2. Pembakuan vs Pembekuan
Sebagai konsekuensi dari dinamika bahasa, pertambahan kosa kata di berbagai sektor kehidupan meningkat dengan pesat. Lebih dari 50.000 tambahan dalam empat dasawarsa.
Dapat dipahami betapa musykilnya peran dan fungsi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. Berarti juga betapa rentan-nya usaha mengatur dan membina bahasa Indonesia yang begitu pesat berkembang itu. Khususnya dalam era globalisasi yang dengan cepat telah mengubah dunia menjadi suatu “desa buana”.
Saat ini misalnya –para pakar kebahasaan telah dengan susah payah (“bertungkus-lumus” kata orang Malaysia) melakukan usaha pembakuan bahasa. Pembakuan ini dimaksudkan memberi semacam pedoman atau alasan akademis untuk melihat ulang. Namun kodifikasi atau kesepakatan tertentu pada saat tertentu ini justru sering dianggap sebagian orang sebagai “pembekuan” bahasa.
Barangkali inilah cermin dinamika masyarakat. Masih ingat bagaimana kerasanya STA (alm.) menghujat peran dan fungsi Pusat Bahasa? Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa pakar-pakar bahasa juga mempunyai pendapat yang berbeda.
Tidak heran jika banyak orang –sesuai kodratnya- memilih sendiri yang lebih mudah dan sesuai untuk diri dan kepentingannya. Ingat misalnya bagaimana kata “canggih” dan “mantan” terpakai serentak secara meluas. Sebaliknya kata-kata “mangkus” dan “sangkil” – padanan kata efektif dan efisien itu, tinggal kata-kata dalam kamus ahli bahasa. Padahal kata-kat aitu adalah seratus proses “baik dan benar”.
3. “Baik dan Benar”
Dalam seminar ini –sebagaimana dalam setiap forum kebahasaan- kata “baik dan benar” menjadi benang merah yang muncul dalam setiap pembahasan.
Sering dibicarakan karena merupakan pengertian inti namun sangat sering disalah-artikan.
Betapa kerap kita mendengar pengertian bahasa yang “baik dan benar” menjadi rancu dengan bahasa “baku”. Bahasa yang “Baik” adalah sesuai dengan konteks situasi. “Benar” itu tepat strukturnya. Sedangkan “baku” adalah bahasa resmi, bahasa sekolah, digunakan dalam forum-forum resmi.
Karena acara siaran radio juga beragam, maka kita pun perlu memilah dan memilih. Ada Pak Tedjo dengan Forum Penerangannya, Pak Wiratmo Sukito dengan “Ulasan Politik”. Lain Sonora yang serba santun dan Krisna yang kocak. Tidak terbayang bila Krisna harus membawakan forum resmi Pak Tedjo. Begitulah tentu pula sebaliknya.
4. Kesepadanan dengan Bahasa Iklan
Iklan adalah suatu communi-suasion. Jangan salah arti, itu akronim dari communication dan persuasion. Komunikasi yang persuasif.
Sebagai sarana penyampaian pesan, sesuai dengan sifatnya, test pertama dari iklan adalah untuk menjawab:
Apakah pesan itu komunikatif, dan↓
Apakah pesan itu persuasif↓
“We sell or else” demikian credo iklan. Iklan dipandang sukses bila mampu membangun citra berjangka panjang sekaligus membuat cash register bergemerincing.
Patut diungkapkan –mengambil contoh di Amerika Serikat, dari kampanye brand baru yang diluncurkan tahun 1991, 5.450 dari 6.125 kampanye atau 90 persen kurang berhasil alias gagal.
Sengaja kami angkat fakta ini untuk menunjukkan bahwa iklan itu gampang-gampang-susah. Gampang kelihatannya, namun sebenarnya panjang dan kompleks permasalahannya.
Dalam penyampaian pesan, iklan radio – juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan penyampaian bahasa siaran.
KIAT KHUSUS CREATIVE
KISS the ROSE!
Keep
It
Simple
Stupid
the
Relevant
Objective
Strategic
Execution
5. Menu dan Bumbu
Dalam mencari alternatif bahasa siaran yang idel dengan mengamati pola bahasa siaran sekarang, nampaknya kita tidak dapat menyama-ratakan penilaian. Kita tidak dapat memukul-rata bahwa radio siaran non-pemerintah itu “terlalu bebas”, “terlalu banyak menggunakan kata-kata asing” atau juga sebaliknya “terlalu formal dan kaku”.
Dapat disebut bahwa ada radio-radio yang terlalu banyak mengobral kata-kata asing. Kata-kata “slang”, “prokem” atau “dialek” maupun asing memang merupakan bumbu penyedap dalam suatu menu (acara). Namun bila bumbu berlebihan, dapat menimpulkan rasa mual – karena pendengar yang ingin menikmati menu pilihannya, hanya memperoleh bumbu.
Sebaliknya bila “terlalu formal dan kaku” – akan mudah tertinggal oleh zaman. Tidak mendorong adanya kegairahan untuk maju, cukup berpuas diri dengan prestasi masa lalu.
Keseimbangan yang harmonis adalah bagaikan menu yang pas diracik bumbu yang sesuai.
6. Penutup
Seminar ini dapat dipandang sebagai timbulnya kemauan bersama untuk memasyarakatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tanpa mengurangi pentingnya komunikasi yang efektif dengan khalayak sasaran.
Memadukannya dengan teknik komunikasi sesuai dengan spesialisasi radio dan pola acara masing-masing adalah menjadi tanggung jawab masing-masing pimpinan dan penyiar radio yang bersangkutan.
Selanjutnya…. Sejarah yang akan menilai kesungguhan kemauan kita. Sanggupkah radio sebagai media elektronik ikut serta di barisan depan untuk menjadi panutan dalam berbahasa yang baik dan benar?
Jawabannya… di tangan Anda!
Jakarta, 29 Maret 1995