Home | Blog | Contact | "Dari Rane"

ᵔᴥᵔ Rane

Media Sosial Sudah Tua. Kita Juga.

Rasanya baru kemarin saya baca informasi soal matinya media yang disebut tradisional atau konvensional seperti cetak, radio dan televisi yang mulai tergeser teknologi informasi terutama media sosial. Lah tiba-tiba aja ketemu artikel yang menyebut-nyebut "The Death of Traditional Social Media." Damn I'm old!

~~~

Iya, rasanya baru kemarin ketika semua orang bicara soal konvergensi, soal media 2.0, soal citizen journalism, media sosial, user generated content. Rasanya baru kemarin ketika cover Majalah Time edisi Person of The Year memajang foto komputer dan di layarnya ada tulisan You. Ya, di akhir tahun 2006, alih-alih memilih sosok orang tertentu, mereka malah memilih YOU, alias kita semua sebagai Person of The Year dengan tulisan di bawahnya: Yes you! You control the information age. Welcome to your world. Itu mind blowing banget dan menyadarkan kita semua kalau era informasi sudah masuk dalam kehidupan kita. Sebuah era di mana kita semua saling terhubung, berjejaring dan membuat konten sendiri.  

Tapi sekarang saya jadi disadarkan kalau era itu sudah menua. Baru-baru ini saya baca berita bahwa Mark Zuckerberg yang sekarang juga sudah tuwir, sudah bapack-bapack yang masih sok mau gaul tapi otak jadul, mengakui kalau era media sosial sudah selesai. Perusahannya sekarang fokus ke hiburan.

Reaksi pertama saya: "Njir, tanggung jawab lu udah ngerusak hidup banyak orang dengan algoritma lo! Enak aja main alih fokus bisnis, meninggalkan kerusakan parah, mengubah gaya hidup orang jadi narsistik, mempengaruhi orang buat yakin kalau orang kayak Trump itu baik dan cocok jadi presiden. Bangke!" Maaf. Emosi. Tapi Facebook kan memang terlibat menanamkan orang-orangnya di tim kampanye Donald  Trump. Bagaimana pula dengan pembantaian etnis Rohingya yang dipengaruhi hoaks di Facebook? Buat dia sih enak, tinggal alih fokus bisnisnya ke hiburan. Pret lah. Eh, maaf emosi lagi. 

~~~

Ya, perubahan itu memang tidak bisa dinafikkan, walaupun saya bilang sejuta kali: "Kok rasanya baru kayak kemarin aja ya."

Tapi kenyataannya memang begitu. Seperti halnya semua hal yang pernah kita anggap keren, media sosial juga menua. Facebook sekarang kayak grup arisan tante-tante. Twitter (atau X, atau entah apalah itu sekarang namanya) jadi tempat orang marah-marah, adu benar, debat kusir. Instagram pelan-pelan berubah jadi katalog jualan atau ajang pamer editan. TikTok? Ah, bikin capek.

Medsos pernah menjanjikan keterhubungan yang tidak pernah ada dalam sejarah peradaban manusia. Kita bisa tahu kabar teman lama, berbagi pikiran, bahkan jatuh cinta. Tapi sekarang, keterhubungan itu terasa kosong. Timeline jadi etalase yang terlalu ramai dengan hal-hal yang kita nggak mau liat tapi dipaksain sama algoritma karena dianggap cocok. Kita scroll, tapi tidak benar-benar melihat. Kita like, tapi sudah tidak benar-benar peduli, cuma karena diminta temen: "Tolong di like ya guys". Kita upload, tapi tidak yakin siapa yang nonton.

Fenomena ini bukan ilusi. Kita semua sudah capek. Banyak yang pelan-pelan mundur. Dari yang dulu rajin update, sekarang cuma pasif. Dari yang dulu FOMO, sekarang malah lega karena tidak tahu apa-apa.

Dan kalaupun masih aktif, arahnya beda. Kita sekarang pindah ke ruang-ruang kecil. Grup WA keluarga misalnya. Kita gabung ke komunitas-komunitas yang benar-benar niche. Kita memang tetap sharing tapi secara privat tanpa harus ditonton orang rame dan dikomentari orang yang tidak kita kenal.

Kita bukannya tidak butuh keterhubungan. Tapi keterhubungan ala medsos, kayak yang dulu digembar-gemborkan sama Mark Zuckerberg itu terbukti blangsak. Saya misalnya beralih sharing ke close friends di Instagram. Terus saya lagi eksperimen dengan sesuatu yang lebih pelan, jauh dari kecepatan dan keriuhan media sosial, jauh dari algoritma yang doyan ngatur ini itu. Cerita-cerita yang saya kirim ke teman-teman yang mau baca. Bukan, bukan newsletter, tapi email.

Terus informasi dapat dari mana? Saya kok mikir kita sekarang lagi kembali lagi ke media-media arus utama yang bisa dipercaya tapi sudah beradaptasi dengan zaman. Kenapa? Karena yakin cuma mereka yang bisa dipercaya di tengah kesoktauan orang atau kelompok yang rajin berbagi informasi yang kata mereka penting tapi ternyata cuma dari sudut pandang mereka sendiri. Saya dulu penggemar berat Tempo. Sekarang, saya penggembar berat Podcast Bocor Alus Politik yang gayanya santai ala warung kopi tapi tetap mengedepankan prinsip jurnalistik yang cover both side.

~~~

Apakah ini benar-benar akhir dari era media sosial? Bisa jadi. Tapi bukan kiamat. Dulu di zaman saya kita takut kehilangan surat kabar. Dibaca apa tidak, tetap langganan. Sekarang kita dibuat tahu kalau informasi tetap jalan, cuma bentuknya beda. Mungkin sekarang kita juga takut kehilangan medsos. Tapi bisa jadi, kita cuma sedang menuju bentuk baru dari keterhubungan. Yang lebih pelan, lebih sunyi, tapi mungkin lebih tulus.

Walhasil media sosial sekarang jadi kayak kota hantu, kayak TV kabel yang masih ada tapi nggak semua orang nonton. Kita semua migrasi ke ruang privat: komunitas kecil, channel tertutup, broadcast list dll. Mungkin kita merasa “capek”, “nggak relevan”, atau “muak” dengan informasi yang ada di medsos yang sarat subjektifitas dan dipaksakan oleh algoritma yang sok tau atau memang algoritma yang sengaja dibuat untuk kepentingan pihak tertentu.

Atau memang seperti kita, Media sosial juga sudah tua. Tapi bukan berarti sudah selesai. Mungkin kita cuma butuh cara baru untuk ngobrol tanpa ribut, terkoneksi tanpa kecanduan, hadir tanpa harus pamer, mendapatkan informasi tanpa harus dipaksakan.


Tangerang Selatan, 17 Mei 2025


Versi audio bisa didengarkan di sini.


#Media Sosial