Home | Blog | Contact | "Dari Rane"

ᵔᴥᵔ Rane

Medsos, Rentang Perhatian, dan Seni Gagal Paham

Beberapa waktu lalu, gue baca postingan seseorang yang bareng temannya lagi nyoba bantu bisnis-bisnis kecil. Niatnya mulia: buka kesempatan buat mereka kirim proposal untuk dibantu. Tapi yang datang malah… email kosong, curhatan panjang, bahkan gue lihat yang nanya: “Proposal itu apa ya?” Kolom komentar pun ramai. Ada yang bilang: “Biasa disuapin.” “Nggak mau usaha.” “Mental gratisan.”

Tapi di sela-sela itu gue nemu ada satu yang nyaranin untuk sekalian dibuatkan template saja.. Kerja seleksi juga jadi lebih efisien. Wah, gue setuju banget. Gue pun ikut komentar karena gue kagum sama niat luhur mereka. Gue sendiri belum mampu, jadi mungkin gue coba bantu lewat komentar. 

Jadi intinya gue bilang, mungkin memang perlu panduan sederhana. Soalnya ya, kita tahu sendiri, pendidikan kita belum merata. Gue pikir itu bagian dari edukasi juga agar mereka berusaha meyakinkan pemberi bantuan dan mempermudah seleksi juga kan.

Tapi ternyata gue salah. Reaksi yang gue dapat bukan diskusi, tapi (sepertinya) kekesalan. Paling tidak itu gue tangkap dari nada responsnya.

Dia bilang, dia dan temannya melakukan ini karena tidak bisa langsung turun ke lapangan, makanya yang mau dibantu diminta bikin proposal. Padahal bukan soal bikin proposalnya yang gue tuju dari komentar gue. Cuma gimana membantu para calon penerima itu bikin proposal. Itu saja. Apalagi dia sendiri mengakui sampai garuk-garuk kepala dan tidak bisa berkata-kata membaca proposal yang masuk. Toh gue pikir itu akan mempermudah proses seleksi karena mereka tidak ada di lapangan tapi tetap niat membantu. Kebayang soalnya kan yang ngirim berapa banyak.

Gue juga udah berusaha hati-hati banget milih kata-katanya karena gue sadar orang mudah kesal di media sosial. Kesibukan dan keriuhan di media sosial juga membuat attention span atau rentang perhatian kita memendek dan cepat sekali mengambil kesimpulan. Asli gue jadi nggak enak hati. So, singkat saja gue balas dengan permintaan maaf, tanpa ada keinginan menjelaskan lebih jauh maksud gue.   

Tapi setelah itu gue jadi overthinking sendiri.

_

Dunia Tanpa Intonasi

Media sosial itu tempat semua orang bisa ngomong. Tapi juga tempat semua orang bisa salah paham. Karena nggak ada intonasi, nggak ada ekspresi, nggak ada konteks. Kita ngobrol pakai tulisan dingin dan jempol yang capek. Maka komentar yang biasa aja, bisa kedengeran nyolot. Saran bisa dibaca sebagai sindiran. Dan perhatian bisa dianggap intervensi. Apalagi kalau udah pakai template umum kayak: “Cuma saran ya” atau “Nggak maksud nyindir, tapi…” Ini kalimat-kalimat pembuka yang seolah minta maaf, tapi sering jadi alarm buat pertahanan orang lain. Gue sendiri paling sebel kalau diawali dengan kata-kata "Maaf cuma sekadar mengingatkan.." Hahaha.. Hey, I'm no angel. Gue juga sumbu pendek. Makanya gue berusaha banget hati-hati dalam setiap komentar, meski kadang kelepasan juga, apalagi kalau sudah emosi.

Ah, mungkin itu kata kuncinya ya. Emosi.

Bayangin aja, medsos bikin semua orang ibaratnya punya mic. Tapi karena panggungnya kecil dan penontonnya banyak, semua orang pengin jadi paling kedengeran. Maka yang muncul seringkali bukan diskusi, tapi lomba volume. Dan karena capek, semua jadi baper, semua jadi emosi.

Komentar yang netral bisa jadi pemicu. Bahkan urusan emoji pun bisa berakhir panjang debatnya. Dan ironisnya, yang paling cepat tersinggung sering juga yang paling gede volumenya. Kayak kita semua punya dua kecepatan: cepat banget buat ngomongin orang, tapi sensitif banget kalau balik dikomentarin. 

Oke, seperti gue cerita tadi, ya bisa jadi ini karena arentang perhatian kita dibikin pendek sama kesibukan, dan segala keriuhan di media sosial. Gue akuin, tidak mudah menyaring mana komentar yang niatnya menyindir, adu kenceng volume, atau niat membantu. Sangat amat tidak mudah. Makanya, gue selalu malas membalas atau memilih minta maaf karena bikin orang marah. Gue juga sih nggak bisa menahan diri untuk komentar. Tapi kan.. ah sudahlah.. 

_

Antara Masukan dan Pelampiasan

Ada garis tipis yang makin lama makin kabur antara memberi masukan, menyindir, dan melampiaskan emosi. Semua bukan hanya soal niat baik -ini catatan besar buat gue pribadi. Kadang kita pikir kita lagi kasih masukan, padahal tone-nya kayak dosen pembimbing frustrasi. Kadang kita merasa udah sopan banget, padahal konteksnya membuat lawan bicara ngerasa dihakimi. Dan kadang, jujur aja—kita memang lagi capek. Lagi pengen ngomel. Lagi pengen kelihatan pintar. Jadi media sosial jadi arena buat melampiaskan, bukan ngobrol beneran, apalagi diskusi.

Haha.. gue jadi ingat seorang teman yang berkali-kali menulis keluhan betapa susahnya mengajak diskusi di media sosial. Dia juga mengeluh ke gue karena amarahnya sempat naik ke ubun-ubun ketika membaca satu dari ratusan komentar di posting, atau komentarnya. Satu saja. Isinya begini: "Kalau mau diskusi, bikin seminar sono. Bukan di sini. Gila lu!" Gue baca ini dan nggak bisa menahan ketawa. Gue yakin dia pasti akan marah besar dan benar saja. Tapi lucu kan? Iya kan? lucu kan? Ketika gue bilang ke dia, betapa lucunya komentar itu, dia ngamuk haha. Berkali-kali dia jelaskan niatnya baik. Bahwa diskusi itu bisa membawa hasil baik. Tapi gue tetap ketawa ngakak. Maaf, masbro!

Gue bukan mengejek dia. Gue cuma menertawakan kenyataan bahwa ya memang benar susah untuk berdiskusi di depan begitu banyak pasang mata dan jempol yang siap bereaksi.

Gue jadi inget kata Stephen R. Covey:

“Most people do not listen with the intent to understand; they listen with the intent to reply.” 

Kebanyakan orang tidak benar-benar mendengarkan untuk memahami; mereka mendengarkan untuk membalas. Medsos banget kan? Makanya mending bikin seminar aja daah hahahahaha

Oke oke. sori. Balik ke kejadian awal, gue jadi mikir ulang. Mungkin komentar gue bener. Tapi mungkin juga, caranya yang salah. Atau momennya. Atau… mungkin nggak semua hal harus dikomentari di tempat umum. Atau gue memang salah! Mungkin sebaiknya gue japri aja ke orangnya. Pelajaran buat gue pribadi adalah, selain faktor rentang perhatian, orang cenderung tidak suka dikomentari di depan banyak pasang mata karena berbagai sebab. Mungkin takut dianggap bodoh, dianggap kalah atau emang nggak suka aja. Malah, kita yang komentar pun sadar sedang ditonton, sehingga seringkali cenderung mewarnai niat baik itu dengan pamer biar dibilang paling benar. Gue sadar itu, makanya gue minta maaf. 

Kadang, diam lebih baik. Kadang, bantu itu bukan soal komentar, tapi soal kerja. Dan kadang, niat baik butuh timing yang tepat biar nggak disangka nyuruh-nyuruh. 

Yah, kita semua belajar. Belajar ngetik lebih pelan. Belajar baca lebih dalam. Dan yang paling sulit: belajar nggak selalu merasa harus ngomong sesuatu.

Buat gue, ini pelajaran gede banget. Lesson learned—big time, man. Big time!

Tangerang, 19 April 2025

#media sosial