Orang-orang Ceroboh yang Punya Kuasa
Pernahkah Anda merasa bahwa hidup sekarang ini selalu berada di dalam aplikasi?
Bangun tidur, buka ponsel, buka Facebook, Instagram, TikTok, Twitter, Thread. Saat bekerja, ada notifikasi. Saat makan, ada yang tagging nama Anda. Dan semua itu terasa wajar, jadi bagian dari hidup kita. Bunyi notifikasi itu rasanya menyenangkan.
Namun pernahkah Anda berpikir, siapa yang mengatur semua ini, dan untuk siapa sebenarnya semua ini diciptakan?
~~
Dari Kekaguman ke Ambisi
Saya masih sangat mengingat, saat pertama kali membuka Facebook dulu. Rasanya seperti menemukan mesin waktu. Bisa kembali terhubung dengan teman SD yang telah lama hilang. Bisa mengetahui kabar orang-orang yang dahulu duduk di bangku sebelah saat SMA, bisa melihat wajah mantan gebetan dan mengetahui keberadaannya saat ini. Bisa saling berinteraksi.
Pada waktu itu, saya tidak memikirkan data, algoritma, privasi, atau politik. Yang saya lihat hanya satu hal: ini sangat luar biasa. Saya begitu kagum hingga sempat melamar ke kantor Facebook di Jakarta dan Dublin, Irlandia. Namun ya, begitulah. Ditolak.
Tapi, ada satu orang yang tidak menyerah. Namanya Sarah Wynn-Williams, seorang diplomat muda dari Selandia Baru. Ia menceritakan kekagumannya di awal buku memoarnya yang berjudul "Careless People: A Cautionary Tale of Power, Greed, and Lost Idealism."
Sarah bekerja di kedutaan Selandia Baru di Washington DC. Namun pikirannya tidak pernah lepas dari Facebook. Ia meyakini bahwa platform ini akan menjadi kekuatan politik global. Ia mencari koneksi, menyampaikan ide-ide idealisnya ke dalam Facebook — dan ditolak berkali-kali. Namun akhirnya, dia yang justru dipanggil Facebook.
Sarah kemudian menjadi Director of Global Policy di Facebook. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai diplomat demi Facebook. Dia mulai mendampingi Mark Zuckerberg berkeliling dunia, bertemu para kepala negara, bahkan membantu Mark tampil di PBB. Semua dia yang mengatur. Berkat Sarah, salah satu momen yang menyadarkan Mark akan besarnya kekuatan Facebook, justru terjadi di Indonesia.
Masih ingat saat Mark diundang Presiden Jokowi untuk blusukan ke Tanah Abang pada tahun 2014? Momen tersebut diceritakan panjang lebar di bab 15 dan 16 buku ini.
Sarah dan tim Facebook saat itu panik luar biasa. Ketika Mark berjalan bersama Jokowi, massa langsung menyerbu. Ia tenggelam di tengah kerumunan. Tim pengamanan kewalahan. Namun di balik kepanikan tersebut, ada satu kesimpulan penting yang langsung tertanam di kepala Zuckerberg: Facebook bukan sekadar aplikasi. Ini adalah kekuatan sosial raksasa.
~~
Ketika Facebook Jadi Pemain Politik Dunia
Masalahnya, semakin besar Facebook, semakin ambisius lah Tuan Zuckerberg. Dia semakin terobsesi untuk memperkenalkan Facebook ke seluruh dunia, termasuk ke Tiongkok. Privasi dan kebebasan mulai dikorbankan demi pertumbuhan.
Dan saat Pemilu Amerika Serikat tahun 2016, semuanya makin terlihat. Sarah menceritakan bagaimana Facebook menyisipkan tim internal mereka ke dalam tim kampanye Donald Trump. Mereka membantu strategi micro-targeting, membuat iklan yang penuh hoaks dan emosi. Kubu Hillary Clinton juga ditawari, namun menolak. Trump menerima.
Facebook menjadi bukan sekadar platform. Mereka menjadi pemain. Mereka tahu dampaknya. Namun mereka memilih diam.
Lalu datanglah tragedi Myanmar.
Di Myanmar, internet adalah Facebook. Banyak warga hanya mengetahui perkembangan lewat linimasa Facebook mereka. Saat muncul posting-posting hasutan terhadap etnis Rohingya, Sarah sudah memberikan peringatan. Namun saat itu Facebook hanya memiliki satu moderator yang menguasai bahasa Burma. Satu orang. Itupun lokasinya ada di Dublin, Irlandia.
Ketika kekerasan terjadi, Facebook terlambat bereaksi. Kita semua tahu apa yang terjadi di sana.
Sarah menulis, "Myanmar menunjukkan dengan sangat jelas kehancuran yang bisa ditimbulkan Facebook ketika dia benar-benar menguasai segalanya."
~~
Kegagalan dari Dalam dan Refleksi Kita
Dari luar, Facebook terlihat menyenangkan: kantor yang keren, bean bag warna-warni dimana-mana, makanan gratis. Namun dari dalam? Brutal. Tekanan kerja tinggi, budaya maskulin, bahkan sampai muncul kasus pelecehan seksual, termasuk yang dialami langsung oleh Sarah.
Dia melawan, dan akhirnya keluar. Lebih tepatnya: disingkirkan. Dia menulis, "Jika mereka tidak mengusirku, aku pun mungkin sudah tidak tahan lebih lama."
Dan yang paling menyakitkan? Ia menulis bahwa semua ini dapat dicegah. Namun tidak ada yang peduli. "Mereka terus berjalan seperti biasa. Business as usual."
Dan itu kalimat yang paling membekas dari buku ini: It’s just business.
Selama ini kita mengira kita adalah pengguna. Namun sebenarnya, kita adalah produk.
Segala yang kita unggah, sukai, dan bagikan direduksi jadi data, dianalisis, dan dijual kepada pengiklan. Bahkan kemarahan kita pun dapat dimonetisasi. Ribut-ributnya kita dengan sesama pemilik akun lain pun jadi cuan buat mereka.
Kita disadarkan bahwa algoritma itu tidak netral. Facebook mengaturnya untuk memicu emosi. Karena emosi = klik = iklan = keuntungan. Idealisme diabaikan. Moralitas dilupakan.
Sekarang, kita harus bertanya: Apakah kita masih memiliki kendali? Anda yang dengan marah pernah menulis: “Ini akun gue, terserah gue mau ngapain. Nggak suka, jangan follow, atau saya blok,” coba fikir ulang. Facebook bukan ruang publik. Ini adalah toko besar yang menjual perhatian kita kepada pihak mana pun yang bersedia membayar.
"Careless People" bukan hanya buku tentang satu individu yang kecewa. Ini adalah buku tentang kita semua.
Tentang generasi yang pernah percaya pada teknologi, dan mungkin masih ingin percaya.
Namun kini kita tahu, bagi mereka semua ini hanyalah soal dagang, soal cuan.
Dan kalau Anda pikir ini cuma soal Facebook, coba pikir ulang. Menurut saya ini mewakili sudut pandang nyaris semua platform media sosial yang ada sekarang.
"It’s just business"
.
Tangsel, 6 April 2025 versi audio podcast bisa didengar di sini.