Home | Blog | Contact | "Dari Rane"

ᵔᴥᵔ Rane

Panggung Sandiwara

Dunia hanyalah sebuah panggung teater besar. Para lelaki dan perempuan, hanyalah pemeran yang datang dan pergi sesuai lakon yang sudah ditetapkan. Sebuah lakon dalam tujuh babak.

Suasana hening. Layar terbuka. Perhatian beralih ke seorang pria yang duduk sambil menggesek cello. Lullaby karya Brahms mengalun tipis. Babak pertama bermula. Lampu beralih menyorot ke panggung. Nampak seorang bayi yang masih merah dalam gendongan. Ia hanya bisa merengek, mengisak dan gumoh di pelukan dunia.

Orkestra beralih memainkan Humoresque No. 7 in G-Flat Major karya Dvorak penanda mulainya babak kedua. Sesosok mungil berseragam dengan tas di punggung berjalan ke tengah panggung. Mulutnya mengeluarkan keluhan dan keluhan dan keluhan. Di bawah cahaya terik matahari pagi yang cerah ia berjalan menyeret kakinya. Nampak sekali ia enggan pergi ke sekolah.

Babak ketiga dibuka dengan dentingan piano "Clair de Lune" karya Claude Debussy mengiringi tampilnya lakon seorang pencinta muda yang tengah dimabuk asmara. Jalannya oleng ke sana kemari dengan senyum menghias wajah dan mata yang berbinar-binar. Deru nafasnya membara, mulutnya meracaukan syair-syair lirih penuh puja-puji akan kecantikan sang kekasih.

Babak keempat, di panggung berdiri pongah sesosok anak muda yang nampak makin sombong dengan balutan iringan orchestra Ride of the Valkyries karya Richard Wagner. Tubuhnya tegap bagai seorang serdadu muda, berjanggut liar, mulut penuh sumpah serapah, selalu haus akan kehormatan dan cepat naik darah demi pengakuan kosong belaka, bahkan saat ia ada di hadapan bibir meriam sekalipun.

Babak kelima, melengganglah sang bijaksana ke atas panggung diiringi lantunan Air on The G String karya Johan Sebastian Bach. Sosoknya laksana hakim kehidupan. Perutnya buncit, kenyang oleh semua makanan lezat dunia. Sorot matanya tajam, janggutnya terpangkas rapi. Dari mulutnya mengalir petuah-petuah bijak yang kadang terdengar seperti kesombongan terselubung.

Babak keenam, menjelma peran sosok tua renta dengan kacamata tersangkut di tepi hidung dan tas lusuh tersampir di bahu. Symphony No. 7, 2nd Movement karya Ludwig van Beethoven mengalun saat tubuh ringkih itu melintasi panggung. Sepertinya ia memerangkap diri di lorong waktu lewat celana dari masa muda yang kini terlalu longgar untuk kaki-kaki yang ototnya semakin menyusut. Suara paraunya bergetar disela nafas yang sesekali mengeluarkan dengingan tipis.

Dan para penonton, sampailah kita di babak terakhir. Sang pianis di pinggir panggung memejamkan matanya, saat memainkan Nocturne karya Frederick Chopin. Dimulailah babak yang menggambarkan masa kanak-kanak kedua, masa ketika tubuh dewasa menyusut, ketika ingatan semakin alpa. Sosok pelakon itu hanya berdiri di sana, di pinggiran panggung, seolah berada di tepi jurang yang dalam. Ia mencoba tersenyum dan nampak mulutnya tanpa gigi, tanpa suara, tanpa rasa, tanpa segala. Hanya matanya yang menatap nanar, jauh ke belakang deretan penonton.

Sang pianis menekan bilah terakhirnya disusul keheningan sejenak sebelum akhirnya tirai panggung pun ditutup, lampu ruangan teater menyala terang menyilaukan mata yang sudah terbiasa dengan keremangan.

Babak berikutnya baru dimulai..

Satu persatu penonton berdiri lalu mengeluarkan gawainya. Cahaya putih menerangi wajah-wajah mereka dan seketika saja ruangan penuh dengan racauan-racauan.

Guys, aku baru nonton dramanya Shakespeare nih. Demi apa, guys. Sumpah keren banget! Makasih ya sayang udah ngajak aku ke sini,” kata seorang penonton sambil menarik sang kekasih masuk ke dalam frame gawainya.

Ya ampun guys, aku sedih banget liat drama Shakespeare tadi. Nih guys, liat air mataku sampai gak mau berhenti guys. Kelihatan kan guys air mataku?” seorang penonton bicara kepada gawainya sambil sesenggukan.

Oh my God, that play was awesome. Sini temenin aku keluar ya sambil aku ceritain. Oya guys, baju yang aku pake ini aku beli di Inggris loh, tepatnya di kota Stratford-upon-Avon, kota tempat kelahiran William Shakespeare. OMG what a nice coincidence ya guys,” seorang gadis meracau cepat sembari bergegas ke pintu keluar.

Di sudut deretan belakang, seorang pria berdahi lebar, rambut panjang, misai lancip, dan janggut tebal terduduk diam melihat pemandangan di hadapannya. Ia menarik nafas panjang, memejamkan mata lalu bergumam

All the world's a stage, and all the men and women merely players.



-Tangsel, 6 Januari 2025.

Terinspirasi dari monolog tokoh Jaques dalam drama As You Like It karya William Shakespeare.

.