Podcast: Kembali ke Suara Sendiri
Banyak orang memulai podcast dengan harapan: Ingin didengar. Ingin dikenal. Ingin menghasilkan sesuatu yang nyata, entah itu dalam bentuk angka, popularitas, tambahan pemasukan atau bahkan pemasukan utama.
Itu semua sah. Banyak titik awal yang bikin orang masuk ke dunia podcast, dan ini titik awal gue.
Here's my story. Heads up, ini bakal agak personal. Tapi semoga ada manfaatnya terutama buat lo yang nanya kenapa podcast gue gini aja, kenapa gak naik-naik pendengarnya, kenapa gue bosen? dll. Ini buat temen-temen podcaster yang masih rajin kontak gue dan ngobrolin medium kita bersama ini
**
Gue mulai podcast dari hal paling sederhana, karena gue paling susah bergaul. Mungkin bahasa sekarang introvert. Entahlah. Gue nggak terlalu tau apa sih kategori introvert atau extrovert itu. Malah ada istilah yang baru gue denger, ambivert.
Gue besar di masa ketika media belum banyak. TV baru satu channel: TVRI. Hiburan satu-satunya radio, dan itu banyak banget pilihan, terutama dari radio SW, singkatan dari shortwave, gelombang radio yang bisa menjangkau antarbenua. Dulu, itu satu-satunya cara buat dengerin dunia luar jauh sebelum ada mahluk bernama internet. Gue akrab dengan BBC, Radio Jepang, Radio Australia, dan pastinya RRI. Itulah masa-masa ketika gue terobsesi pengen jadi penyiar radio karena gue mikir, "Asik juga ya ngoceh ke orang lain, tapi nggak di depan orang itu." Cocok buat gue yang gak suka ketemu orang.
Ternyata obsesi gue jadi kenyataan. Gue sempat kerja di beberapa radio SW dan pada masa-masa itulah gue kenal yang namanya Podcast. Ini radio paling keren menerut gue, karena punya gue sendiri, bebas gue apain aja, bebas gue ngomong apa aja. Dan gue terus bikin podcast sejak itu di sela-sela siaran.
**
Sebelum lanjut, gue harus cerita dulu. Ada satu momen kecil yang memicu gue cerita ini. Seorang teman baik yang tinggal hampir 15 ribu km dari gue baru-baru ini nanya begini, "Why do listeners matter to you?"
Seperti gue cerita tadi, gue awalnya gak mulai podcast demi didengar banyak orang, tapi karena gue paling susah bergaul dengan orang lain. Justru lewat proses itulah gue jadi makin menghargai mereka yang memilih untuk mendengarkan, berapapun jumlahnya.
Ya, tentu tiap orang punya alasannya masing-masing untuk berkarya — entah itu soal branding, konsistensi, monetisasi, atau sekadar eksplorasi. Semua itu sah. Gue nggak berharap orang mengikuti cara gue, tapi kalau ada yang bisa dipetik dari sini, ya syukur. Kalau enggak pun, gak apa-apa. Ini cuma cerita.
Buat gue, podcast itu perjalanan. Kadang rame, kadang sepi. Tapi selama gue menikmati prosesnya, gue tetap jalan. Podcast bukan panggung. Buat gue, ini ruang pribadi yang gue buka pelan-pelan untuk orang lain yang mungkin relate, atau sekadar butuh temen dengerin. Gue seneng karena banyak yang kontak dan bilang, seneng denger gue ngoceh karena berasa ada temen.
Gue pribadi gak kejar angka, karena gue percaya:
Ada yang ketemu diri sendiri lewat podcast, bukan karena ketemu selera pasar.
Ada yang ketemu teman sefrekuensi, bukan ketemu deal sponsor.
Ada yang bikin podcast karena butuh ngomong, bukan ngejar validasi, trending, apalagi viral..
Tapi semua cara valid. Hanya saja penting juga buat tahu cara mana yang bikin lo bertahan di dunia podcasting yang katanya mulai ditinggalin ini.
Buat gue, salah satu cara bertahan adalah menerima kalau bosan itu wajar. Kalau lagi blank, ya berhenti dulu. Gak usah merasa bersalah. Karena ini bukan proyek yang harus selesai, tapi proses yang terus berubah.
Kadang suara lo butuh diam untuk bisa kedengaran lagi.
**
Di dunia yang mendorong lo buat terus hadir, terus upload, terus “konsisten,” berhenti sejenak sering dianggap kelemahan karena menurunkan jumlah pendengar yang selama ini lo perjuangin dengan konsisten. Tapi apa emang harus gitu?
Buat gue, berhenti itu juga bagian dari ritme. Jeda itu juga bagian dari proses.
Berhenti bukan berarti selesai. Kadang justru dengan berhenti, lo bisa nemuin lagi arah lo.
Kadang kita bisa menemukan bukan dari keramaian, tapi dari keheningan.
Gue gak bilang cara gue paling benar. Karena tiap orang punya jalannya sendiri. Ada yang nyaman dengan jadwal rilis mingguan, ada yang kuat push diri sampai 200 episode nonstop. Semua sah. Tapi jangan sampai kita kehilangan diri sendiri gara-gara terlalu sibuk ngejar bentuk luar yang dianggap ideal.
Karena kalau lo merasa podcast lo kecil, sepi, gak naik-naik, gak ada yang dengerin, mungkin lo cuma lagi terlalu sering ngaca ke panggung orang lain. Mungkin...
Coba matiin lampu panggung sebentar. Coba balik ke suara lo sendiri. Coba ingat kenapa dulu lo mulai. Mungkin, dari situ lo bisa nemu lagi arah lo. Atau minimal, lo bisa bilang ke diri sendiri: "Gue masih di jalan ini, bukan karena harus, tapi karena mau."
Dan kadang, itu saja sudah cukup.
Tangerang Selatan, 14 April 2025
Menjelang tengah malam, disambi chatting sama teman.