Terima Kasih Tanpa Kata
Dalam sebuah kesempatan belum lama ini saya bertanya kepada seorang profesor dari Makassar. Sebuah pertanyaan yang sudah lama muncul di kepala, dan berharap beliau bisa membenarkan dan mengunci jawaban yang saya dapat dari beberapa sumber tapi belum puas rasanya.
Pertanyaannya begini: “Mmangnya betul kalau dalam bahasa Bugis itu tidak ada padanan untuk kata terima kasih?”
Banyak yang bilang begitu. Pertama diberitahu seorang teman orang Bugis asli, saya tidak percaya. Kok bisa? Kok kesannya jadi tidak tahu berterima kasih? Saya tanya sana sini, Googling berbagai sumber, termasuk minta ChatGPT untuk bantu cari rujukan. Hasilnya nyaris memuaskan, sampai saya bertemu beliau.
“Ya karena terima kasih itu memang tidak perlu diucapkan!” jawabnya dalam logat yang kental banget.
Singkat. Tapi padat. Jawaban yang sederhana, tapi rasanya seperti membuka pintu ke ruang batin yang lebih dalam dari sekadar terima kasih sebagai sikap sopan santun.
Oke sebelum saya mengeluarkan apa pemahaman dari batin ini, mari mundur sedikit. Di tubuh saya mengalir kental darah Bugis dari kedua orang tua. Tapi saya tidak terlalu dekat dengan budaya itu karena saya lahir dan besar di luar tanah Bugis, atau tanah Ogi kata mereka.
Saya tumbuh dalam budaya di mana “terima kasih” adalah tanda kesantunan paling dasar. “Ayo, bilang apa udah dikasih permen sama om dan tante?” Itu kalimat yang paling sering saya dengar waktu kecil dulu. Saya diajarkan untuk jadi orang yang tahu berterima kasih. Persis seperti gaya didikan orang Bule: “Kids, what are the two magic words? Please and thank you!”
Tapi di usia yang sudah bangkotan ini saya ketemu pemahaman baru dari budaya asal kedua orang tua saya mengenai kata terima kasih.
“Ya kalau kau mau, pakai saja itu bahasa Indonesia, terima kasih. Tapi sebetulnya itu tidak untuk diucapkan.” Kata Puang Professor.
Saya pernah baca tulisan seorang akademisi yang bilang, kata terima kasih dalam budaya Bugis terdengar terlalu formal. Terlalu selesai. Seperti menerakan titik di akhir kalimat. Padahal harusnya ada koma di situ, sebab bagi mereka, hubungan antar manusia tidak berhenti pada ucapan terima kasih. Ia harus berlanjut dalam tindakan.
Ini jadi nyambung dengan filosofi hidup orang Bugis yang sangat sakral yang namanya siri’. Siri’ adalah prinsip kehormatan dan harga diri yang mengajarkan bahwa kehilangan martabat berarti kehilangan kemanusiaan. Makanya dengan mudah ada yang menuding, orang Bugis itu kalau sudah kehilangan harga diri, badiknya pasti terhunus.
Tapi dalam pemahaman saya si Bugis KW ini, siri’ bukan coba soal martabat dan harga diri kita sendiri saja, tapi juga bagaimana menjaga martabat dan harga diri atau siri’ orang lain. Karena itu falsafah Siri’ membuat orang berhati-hati dalam bertutur dan bertindak. Karena bisa saja mereka menginjak harga diri orang lain.
Nah, karena itulah mengucapkan terima kasih bisa saja dianggap berlebihan, seolah hubungan antara pemberi dan penerima tidak setara. Seolah yang memberi lebih tinggi derajatnya daripada yang menerima budi baik. Inilah maksudnya kenapa terima kasih itu tidak bisa ditafsirkan sebagai selesai, titik! Inilah maksudnya mengapa Pak Prof itu bilang: “Ya karena memang tidak perlu diucapkan.”
Terima kasih sejati dalam falsafah bugis tidak berhenti di bibir, tapi hidup dalam perwujudan sikap untuk membalas kebaikan dengan kebaikan lain.
Prinsip ini sejalan dengan satu ungkapan yang sering dianggap mendekati makna terima kasih, yakni kurru sumange'. Kurru kurang lebih berarti meneguhkan atau menguatkan. Sementara sumange' artinya jiwa atau semangat. Jadi ungkapan ini secara literal berarti menguatkan semangat atau meneguhkan jiwa.
Saya suka ungkapan ini karena mengingatkan pada almarhumah nenek yang dulu suka sekali duduk di pinggir ranjang menjelang saya tidur sambil mengelus kepala saya dan mengatakan, “Kuru sumange’mu nak..”. Bahkan saat sedang susah hati, beliau datang dalam mimpi dan mengucapkan kalimat yang sama.
Kurru sumange'. Teguhkan semangatmu. Kuatkan jiwamu. Supaya hatimu tidak pudar.
Kenapa ada yang menganggapnya mendekati makna terima kasih padahal artinya beda? Ini bisa jadi perdebatan panjang. Tapi buat saya jawabannya sangat sederhana: Tidak ada balas budi yang lebih baik daripada doa.
Kurru sumange' bukan sekadar ungkapan sopan santun. Ia adalah doa agar semangat kebaikan orang lain tidak pernah padam. Agar ia terus diberi semangat untuk berbuat baik kepada sesama.
Dan doa, seperti halnya tindakan, tidak berhenti di kata. Ia terus hidup, bahkan setelah percakapan berakhir.
Kurru sumange’ ta, kawan-kawan..
Tangerang 16 Oktober 2025
ᨑᨊᨙ