The Four Seasons dan Musim Kelima
Malam minggu kemarin, saya nonton serial The Four Seasons di Netflix. Niatnya cuma buat nemenin makan malam, tapi malah lanjut nonton dari episode 1 sampai 8 tuntas dalam semalam. Dan malam itu di atas tempat tidur, gua masih mengingat serial itu sambil menggumam pelan, "Anjirrr, keren banget!"
Oke mundur sedikit. Buat yang belum nonton, The Four Seasons, ini adalah drama serial terbaru hasil remake dari film tahun 1981 karya Alan Alda. Serial ini digarap oleh Tina Fey, Tracey Wigfield, dan Lang Fisher—tiga nama yang sudah tak asing di dunia komedi cerdas.
Ceritanya mengikuti kehidupan tiga pasangan yang bersahabat sejak kuliah sampai kini berada di usia 50-an, mapan, modis, dan punya cukup waktu serta dana untuk liburan bareng empat kali setahun, setiap pergantian musim. Tentu, sesuatu yang hanya mungkin dilakukan segelintir orang—dan mungkin itu bagian dari kritik halusnya.
Yang membuat serial ini menarik bukan hanya karena penulis dan pemainnya bukan kelas kaleng-kaleng, tapi karena ia memperlihatkan bahwa krisis, kejutan, dan pencarian makna tidak berhenti di usia 30 atau 40. Life begins at 40 katanya? Try getting to 50! Pencarian-pencarian itu masih terus ada di usia yang katanya sudah harus selesai dengan diri sendiri. Kata siapa?
Banyak dari kita pun mulai mencari aktivitas baru: belajar paddle tennis, mulai tanam hidroponik di teras, mencoba main tiktok, atau bikin podcast. Apapun yang dilakukan ada satu benang merahnya: Ingin tetap merasa hidup, meski dunia sudah tak menuntut banyak dari kita. Bukan karena ingin kembali muda, tapi karena ingin merasa hidup.
Tentu, tidak semua orang yang akhirnya sampai di usia 50 punya waktu luang untuk bertanya: “Siapa aku sekarang?” kayak di serial The Four Seasons. Karena bagi banyak orang lagi, usia 50 justru adalah puncak dari pertarungan yang belum selesai dan entah akan selesai atau tidak. Ada yang masih bangun subuh untuk dagang sayur di pasar, lalu siangnya ngojek demi tambahan biaya sekolah anak. Ada yang pindah kontrakan ke gang sempit karena rumah lama terpaksa dijual saat pandemi. Ada juga yang kerja sebagai penjaga malam di kompleks yang dulunya ia impikan untuk ditinggali. Ada. Harusnya yang begini ini jadi bahan film juga.
Di usia ini, sebagian orang bahkan baru mulai—bukan dalam arti metaforis, tapi betul-betul dari nol. Kata “pensiun” tidak ada di kamus mereka. Bukan karena menolak, tapi karena tidak mungkin. Berhenti bekerja berarti berhenti makan.
Buat mereka, usia 50 bukan tentang bicara soal makna hidup atau pencarian jati diri. Tapi tentang bagaimana listrik tetap nyala dan dapur tetap ngebul. Bukan tentang refleksi, tapi tentang realita.
Kembali ke serial The Four Season. Ada satu hal yang menarik perhatian saya yakni pertemanan. Sahabat-sahabat lama yang tetap hadir dalam hidup. Justru, di usia ketika banyak hubungan mulai renggang, memiliki lingkaran pertemanan yang masih utuh adalah sebuah anugerah. Mereka yang masih bisa bercanda, berdebat, bahkan saling diam bersama sahabat lamanya, adalah mereka yang sedang menggenggam salah satu kemewahan paling langka dalam hidup: rasa memiliki yang tidak usang dimakan waktu.
Seperti kata John Lennon, "Count your age by friends, not years. Count your life by smiles, not tears." Kutipan ini terasa pas untuk menggambarkan pergeseran nilai di usia ini, bahwa yang paling berarti bukan berapa banyak yang kita capai, tapi siapa yang masih tersisa di sekitar kita untuk tertawa bersama.
Saya beruntung merasakan kemewahan itu karena masih terhubung dengan teman-teman lama, termasuk yang paling aktif adalah teman dari zaman kuliah dulu. Kami menyebut diri sebagai "Geng Absurdians," karena memang dari dulu sampai sekarang obrolannya selalu absurd, aneh, kocak dan menghibur. Tidak ada yang berubah. Yah, kalaupun ada yang berbeda adalah selingan obrolan soal pantangan makan, soal jenis obat darah tinggi yang dipakai, soal anak dan lain-lain.
Toh tetap saja ketika beberapa hari lalu saya posting artikel tentang bagaimana tetap produktif di usia tua, yang muncul adalah balasan:
"Tua? Siapa yang tua?"
Lalu kembali kita asik bicara soal asam urat, anak yang mulai pergi meninggalkan sarangnya, ucapan ulang tahun, persiapan pensiun dan seterusnya dan seterusnya.
Yah, mungkin begitulah cara menghadapi pergantian musim ala kami, yang mungkin tidak sekeren Tina Fey dan kawan-kawan di serial The Four Season. Tapi siapa bilang kita nggak punya musim sendiri?
Usia 50 adalah musim kelima. Musim yang tidak ada di kalender, tidak tayang di ramalan cuaca, tapi hidup di antara notifikasi WA, gelak tawa, dan cerita-cerita yang makin absurd setiap harinya. Musim yang mungkin tidak selalu cerah, tapi sampai hari ini masih hangat.
Sesekali kita juga akan janjian jalan bareng ke luar kota atau sekadar makan bersama di satu tempat. Tapi ujung-ujungnya baru ingat janji itu pada hari H atau bahkan jauh setelahnya. Sumpah, ini benar terjadi. Dan namanya juga Geng Absurd, kita cuma tertawa ngakak.
Tangsel, 5 Mei 2025
Versi podcast bisa didengarkan di sini.